PERAMPOK
PERAMPOK
Perampok yang tertangkap dini hari tadi malam adalah
anakmu. Tapi kau tetap saja bersikukuh bahwa semua keluargamu adalah keluarga
baik-baik. Masih saja kau bersilat dengan lidahmu yang bercabang-cabang seperti
cemara. Padahal kau tahu, aku adalah saksi dari perjalanan hidupmu; seperti
sungai yang terjal, menyangkut konvoi bangkai dan kototran dari hulu hingga
muara. Bau busuk, amis, dan anyir tak lepas dari penciumanku sekarang kau mau
berkelit apa lagi?
Perampok yang dihajar masa dini hari itu adalah
anakmu. Aku tak perlu lagi pengakuan atau penolakanmu. Terlalu sederhana bila
kata-katamu kau berondongkan seperti itu. Habiskanlah ludahmu, peraslah
energimu, dan bila perlu keluarkan semua timbunan yang bersarang di otakmu. Aku
tak akan h=goyah. Kesaksianku terlalu tegar untuk kau kelabui secara murahan.
Lihatlah tengkukmu sendiri. Kau tentu tak
sanggup.itulah kehidupan. Betapa sulit menggerayangi kebobrokan diri sendiri.
Kau masih saja berjalan dengan tegar, mengumbar senyum sepanjang jalan, bahkan
masih tega mempertontonkan keculasan yang kronis.
“Semua adalah fitnah,” katamu. “Mereka sengaja ingin
mendiskreditkan kami sekeluarga.”
“Kata-kata itu sudah klise,” aku menimpali.
“Kami bukanlah penyair. Kami tak sangguo merakit
kata-kata indah. Ini kenyataan. Kami adalah korban fitnah. Dan itu lebih kejam
dari pembunuhan. Jadi, kami punya hak untuk membela diri.”
“Apalah arti pembelaan jika saya sudah tahu semuanya.”
“apa yang kamu lihat bukanlah kenyataan.”
“Maksudnya?”
“Apiori.”
“Puih! Kata-kata apa lagi itu?”
“Menerima kebenaran memang tak mudah. Itu kata-katamu
juga kan?”
“Jangan membalik-balik kenyataan!”
“Kata-kata itu berlaku untuk kamu juga.”
“Prek!”
Siapa lagi yang tak tahu bahwa perampok sial dini hari
tadi adalah anakmu. Bersama gerombolannya dia menggasak dolog. Gudang
penyimpanan makanan rakyat itu diodol-odol, digembosi, serta dikuras dengan berani. Mereka tak mau tahu
bahwa dolog itu adalah pengisi perut rakyat. Mereka telah menggerogoti gelombang
demi gelombang. Seperti milik bapaknya saja!
Kepuasan ternyata tak kunjung datang. Entah berapa
banyak isi dolog itu dikuras. Penduduk yang tadinya tak berani melawan karena
takut, lama-lama meledak juga nyali mereka. Dini hari itu kentongan di gardu
desa ditabuh. Kentong titir menyentak keheningan malam. Penduduk terbangun. Teriakan
menggema di mana-mana. Gerombolan itu dikejar beramai-ramai oleh warga desa.
Meraka kabur tunggang langgang. Erombolan itu berpencar meloloskan diri.
Akhirnya, tertangkaplah seorang. Dia adalah anakmu!
Kau masih mau mengelak lagi! Lelaki itu benar-benar
anakmu. Perawakannya sedang. Rambutnya pendek. Keningnya agak lebar. Berkumis.
Bibir atasnya agak runcing. Sipit matanya. Seperti kamu. Dan aku telah mengenal
namanya.
“Bunuh dia!” teriak salah satu warga desa. Mereka
menghajar lelaki itu secara membabi buta.
“Gantung!”
“Hancurkan!”
“Jangan! Kita harus menangkap dia secara hidup-hidup,
biar bisa mengorek informasi lebih lanjut!”
Lelaki yang sudah babak belur itu diseret ke depan
balai desa. Di bawah lampu yang terang, aku mengamatinya dengan teliti.
Percikan-percikan darah terlihat masih basah. Pakaiannya robek dari leher
sampai pangkal punggung. Dia merintih-rintih minta ampun. Menggelepar-gelepar
di tanah kering seperti cacing kepanasan.
“Kau sudah kaya raya masih juga merampok!” aku
menghardiknya.
“Ampun…ampun…”
“Mulut bisa minta ampun! Tapi nafsu hatimu sekeras
batu. Jika kau dibebaskan, pasti kau akan merampok lagi!”
Dini hari itu warga desa membangunkan Pak Lurah. Sang
perampok dibawa ke hadapannya. Pak Lurah terkejut. Ada ekspresi heran. Pak
Lurah tidak menampakkan wajah seram seperti biasanya.
“Kamu?” suara Pak Lurah lirih.
Perampok itu menatap wajah Pak Lurah dengan sorot mata
ebrbinar. Sepertinya dia memendam harapan. Beberapa saat, tak ada kata-kata.
Pak Lurah lantas mendesah panjang.
“Sekarang kalian pulang ke rumah masing-masing.
Biarlah perampok ini di sini.” Kata Pak Lurah pada warga desa.
“Nanti dia kabur, Pak,” seorang warga menyahut.
“Percayalah.”
“Kami akan tetap di sini, Pak Lurah. Kami tak ingin perampok
ini lepas.”
“Kan ada petugas hansip?”
Pak Lurah terlihat berbicara dengan sang perampok,
tapi tak terlalu jelas bagi kami. Beberapa saat setelah itu, datanglah mobil
patroli. Setelah terlibat pembicaraan dengan Pak Lurah, para polisi itu segera
membawa perampok keluar dari desa kami. Entah ke mana.
“Kita serahkan urusannya pada pihak yang berwajib.
Sekarang pulanglah kalian semua.”
Ya, perampok yang dibawa oleh polisi itu adalah
anakmu. Aku melihat pada lengan kanannya ada bekas bacokan memanjang. Yang
namanya bangkai pasti akan berbau jua. Lewatlah di jalan-jalan, pasti semua
orang akan nyinyir memandangmu.
Tiba-tiba aku tersentak. Tengan malam yang pekat, kaca
rumahku dihantam dari luar. Tiga kali, kaca pintu dan jendela pecah berantakan.
Aku cepat-cepat keluar. Begitu pintu terkuak, sebuah pukulan sekonyong-konyong
menancap di pipiku, lantas disusul lagi dengan pukulan-pukulan berikutnya
secara beruntun. Beberapa orang serentak mengeroyok aku. Aku menjadi oleng.
Seperti ada pula benda keras yang dihantam ke tubuhku. Dan ketika beberapa
tendangan mendarat di perut, aku pun roboh. Dalam waktu yang bersamaan aku
mendengar ada bunyi sepeda motor meraung-raung. Mereka kemudian kabur dengan
cepat.
Ini pasti ulah busuk anakmu. Sebab du ahari setelah
itu orang-orang kampung banyak yang melihat bahwa anakmu pulang ke rumah pada
malam hari. Dia telah dibebaskan. Beberapa saja yang kaubayarkan sehingga
pengadilan pun tercampak ke keranjang sampah.
Beberapa hari setelah itu, aku dipanggil ke kantor polisi.
Aku diinterogasi dan dituduhi telah mencemarkan nama baik seseorang. Polisi
telah mencecarku dengan segebok pertanyaan. Ternyata yang melaporkan akau
adalah kamu! Bangsat!
Kalau toh aku dipenjara karena persekongkolanmu dengan
pihak-pihak terkait, biarlah. Toh semua orang sudah tahu. Perampok yang
tertangkap dini hari itu adalah anakmu!
Komentar
Posting Komentar